Senin, 04 Februari 2013

Doa Bersama Antar Agama, Menjaga Kerukunan atau Merusak Akidah Islam?

Dalam perspektif Islam tindakan amar ma’ruf dan nahi munkar menempati kedudukan penting. Banyak ayat Alquran dan hadis Nabi yg menjelaskan arti penting dan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar artinya memerintahkan kepada yg baik dan mencegah kemungkaran . Dalam sejumlah ayat kewajiban ini dikaitkan langsung dgn status dan kualitas iman seseorang. Misalnya sabda Nabi saw “Barangsiapa di antara kamu yg melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dgn tangannya; jika ia tidak mampu ubahlah dgn lisannya; dan jika tidak mampu ubahlah dgn hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman.” “Dan orang-orang yg beriman laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yg lain. Mereka menyuruh yg ma’ruf dan mencegah dari yg munkar mendirikan salat menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya..”

Jadi amar ma’ruf nahi munkar memang merupakan sebuah kewajiban yg sangat ditekankan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya bahkan terdapat sejumlah dampak buruk bagi masyarakat jika amar ma’ruf nahi munkar tidak ditegakkan. Siksaan dan azab Allah akan turun kepada seluruh warga masyarakat baik yg saleh maupun yg zalim. “Dan jagalah dirimu dari bencana yg tidak khusus menimpa orang-orang yg zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya.” Jika praktik doa bersama antaragama dan sejumlah kegiatan sinkretis lainnya yg digelar oleh penguasa dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya dinilai sebagai kemungkaran lalu dibiarkan saja oleh kaum muslim Allah berhak menurunkan azab-Nya kepada seluruh bangsa Indonesia.
Ketika hadir di institut Mahatma Gandhi di Bali 24 Oktober 1999 Gus Dur juga mengikuti praktik acara doa bersama beberapa tokoh-tokoh agama. Mungkin praktik semacam itu sering dilakukan di lembaga internasional semacam World Confrence on Religion and Prace yg pada saat itu Gus Dur menjadi salah satu pimpinannya. Berbagai LSM yg menggelar acara “renungan” pun acapkali menyertai dgn acara parade doa bersama disertai pawai lilin. Dalam acara HUT PDI di Stadion Utama Senayan pada 27 Januari 2000 lalu praktik doa bersama antaragama semacam itu pun digelar. Lalu dalam acara konser “Badai Pasti Berlalu” Chrisye pada 18 Februari 2000 juga tidak lupa digelar parade doa bersama antaragama. Apakah praktik ibadah semacam ini merupakan hal biasa atau sekadar gejala kegenitan?
Doa jelas bukan hal sembarangan. Doa adl bentuk permohonan manusia kepada Tuhan. Melihat maraknya praktik doa bersama antaragama semacam itu bisa jadi tak lama lagi akan ada perubahan tradisi upacara kenegaraan. Jangan-jangan nantinya upacara Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka akan diakhiri dgn doa bersama antar-tokoh agama utk mrnunjukkan kerukunan umat beragama di Indonesia. Jika sekarang agama yg diakui baru lima nanti setelah Konghucu diakui bisa jadi akan menjadi enam jenis doa. Belum lagi jika kelompok kebatinan bisa menuntut hak asasinya utk turut serta dalam praktik doa kolektif itu. Tambah ramai dan panjang doa bersama antaragama itu.
Perspektif Teologis Dalam perspektif teologis praktik doa bersama antaragama sebenarnya merupakan “dagelan” yg lucu dan menggelikan. Masing-masing agama memiliki konsep teologi yg sangat parakdoks satu sama lain.
Logisnya suatu kemungkaran tidak boleh dipelihara apalagi diberi kesempatan berpromosi kepada masyarakat. Syirik jelas-jelas merupakan tindak kemungkaran besar yg seyogyanya tidak dipromosikan oleh kaum msulim. Jika kaum muslim apalagi tokoh-tokohnya ikut mempromosikan kemungkaran patut dikhawatirkan negeri ini sedang diambang bahaya krn azab Allah SWT akan diturunkan sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw “Sesungguhnya manusia jika mereka melihat kemungkaran sedangkan mereka tidak mengubahnya datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum.” “Kamu harus mengajak mereka kepada yg makruf dan harus mencegah yg mungkar; jika tidak Allah pasti akan menjadikan orang-orang paling jahat di antara kamu sebagai pemimpinmu ; dan jika orang-orang baik di antara kamu berdoa doa mereka tidak dikabulkan.”
Dalam perspektif teologi Islam acara doa bersama antaragama jelas-jelas merupakan promosi kepercayaan batil. Apa jadinya jika kaum muslim yg seharusnya mengubah kemungkaran malahan ikut-ikutan meramaikannya? Apakah pantas doa mereka dikabulkan oleh Allah? Merujuk hadis al-Bazzar dan Thabrani tersebut sikap kaum muslim yg berdiam diri terhadap kemungakran besar seperti perbautan syirik bahkan berkomplot dan mempromosikankannya tidak saja menimbulkan dampak tidak dikabulkankannya doa mereka oleh Allah tetapi juga berdampak pada tampilnya orang palling jahat sebagai pemimpin kaum muslim. Na’udzubillah. Doa itu Inti Ibadah Dalah perspektif Islam doa adl praktik ibadah yg telah diatur tata caranya dgn ketat. Dalam sebuah hadis yg diriwatkan Imam Tirmidzi Nabi saw menyebut doa sebagai mukhkhul ibadah . Nabi juga menyatakan “Doa itu sendiri adl ibadah.” Sementara itu al-Hakim meriwaytkan hadis yg menyebut doa sebagai pedangnya orang mukmin . T
Tata cara doa diatur dgn ketat oleh Allah dan Rasul-Nya. Misalnya diperintahkan berdoa dgn sikap merendah diri dan suara yg lembut . Dalam kitab Ihya Ulumuddiin Imam Ghazali banyak mengungkapkan adab berdoa kepada Allah seperti mengangkat tangan berkeyakinan bahwa doanya dikabulkan bersikap baik sangak kepada Allah bersungguh-sungguh dalam berdoa mengulang doa sebanyak tiga kali dan sebagainya. Waktu dan saat berdoa juga diatur dalam Islam kapan doa yg mustajab. Juga siapa-siapa saja yg doanya maqbul. Jadi begitu rincinya tata cara doa telah ditentukan. Tidak ada satu pun penjelasan Alquran hadis nabi atau pendapat ulama yg benar-benar alim dan saleh yg menganjurkan apabilan ingin doanya diterima oleh Allah berdoalah bersama dgn pemeluk agama lain.
Naif memang jika ada yg mengatakan bahwa agar doa orang muslim dikabulkan Tuhannya maka perlu dibantu oleh kaum kafir dan musyrik. Karena itu dapat disimpulkan dalam perspektif teologis dan ritual keislaman praktik doa bersama antaragama benar-benar merupakan tindakan konyol ngawur lucu dan sangat menggelikan. Doa bukan acara main-main atau sekadar panjangan utk sekadar “pantes-pantesan.” Belum pernah terjadi Nabi atau para sahabatnya mensponsori acara doa bersama antaragama. Bahkan ketika Nabi diajak melakukan praktik ubudiyah sinkretis oleh kaum kafir Quraisy dijawab dgn sifat tegas menolaknya “Katakan ‘Hai orang-orang non muslim aku tidak akan menyembah apa yg kamu sembah. Dan kamu bukanlah menyembah Tuhan yg aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yg kamu sembah dan kamu bukan penyembah Tuhan yg aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Alkisah kaum kafir Quraisy sudah sangat gerah melihat sepak terjang Muhammad saw yg tak henti-hentinya mengecam praktik ubudiyah kaum Quraisy. Sejumlah cendekiawan terkemuka Quraisy seperti Walid bin Mighirah al-Ash bin Wail dan Umayyah bin Kahlaf kemudian mendatangi Muhammad saw. Kata mereka “Ya Muhammad mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yg engkau sembah tetapi Engkau pun hendaknya bersedia menyembah apa yg kami sembah.” Kompromi teologis semacam inilah yg dikecam keras oleh Alquran. Sebagai praktik ibadah mahdhah doa memiliki makna dan konsep yg khas dalam tiap agama dan tidak perlu digabung-gabungkan. Ini krn sejatinya hal itu merupakan paraktik sinkretis yg lucu dan menurut Hamka “menyuburkan kemunafikan.” Betapa tidak? Masing-masing pemeluk agama yg memiliki konsep teologis yg berbeda “dipaksa” duduk bersama utk berdoa kepada Tuhan yg jelas-jelas konsep ketuhanan mereka berbeda antara satu agama dgn agama lain.
Toleransi Semu Praktik doa bersama antaragama semacam ini akan semakin subur jika masing-masing pemeluk agama sudah tidak menganggap penting konsepsi teologis agamanya masing-masing dan mengganti dgn “nilai universal” yg bertumpu pada nilai humanisme sekuler. Banyak yg melihat aspek doa bersama antaragama itu hanya sebagai fenomena sosiologis semata sebagaimana halnya dgn Praktik Natal bersama dan sejenisnya. Dengan alasan utama demi toleransi beragama praktik-praktik sinkretis ditumbuhsuburkan. Bahkan pernah-demi toleransi- penyebarluasan konsep tauhid Islam dilarang oleh pemerintah. Tahun 1981 Kanwil P&K Jawa Timur melarang peredaran buku PMP yg memuat tafsir surah Al-Ikhlas krn menenggang golongan penganut Trinitas. Pada 21 April 1981 Hamka mempersoalkan masalah ini ke Pangkopkamtib Sudomo. “Kalau tafsir surah al-Ikhlas itu dilarang krn mau meneggang golongan yg bertuhan tiga apa lagi artinya kami yg meyakini keesaan Tuhan?” kata Hamka kepada Sudomo.
Praktik sinkretisme cukup mendapat angin dgn tampilnya Gus Dur sebagai Presiden RI. Pengakuan Gus Dur di Bali bahwa ia seorang penganut paham Gandhi juga anjurannya agar kaum muslimin ikut merayakan Natal menunjukkan bahwa dia seorang pendukung praktik sinkretisme. Gandhi adl seorang humanis yg pernah menyatakan “Setelah mempelajari lama dan saksama saya sampai kepada kesimpulan semua agama itu benar semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya.”
Sinkretisme bukanlah cara bijak utk menciptakan kerukunan umat beragama. Mungkin bisa utk jangka pendek. Akan tetapi sementara masing-masing pemeluk agama masih memegang teguh konsepsi teologisnya-tanpa mau kompromi sedikitpun-maka sinkretisme justru akan menjadi “bom waktu” yg akan meledak kapan saja ada faktor pemicunya. Maraknya praktik sinkretis dewasa ini hanya akan mengulang kegagalan praktik rezim Orde Baru dalam mewujudkan kerukunan umat beragama yg sejati. Ini krn pada saat yg sama ganjalan-ganjalan kerukunan umat beragama belum juga disingkirkan. Bukannya malah menggalakan praktik sinkretis kerukunan semu berupa nyanyian bersama tari-tarian bersama atau doa bersama antaragama.
Sumber Penyesatan Opini Adian Husaini M.A. Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia sumber file al_islam.chm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar